Selasa, 17 April 2012

Jam 2 Siang

"Sayang, kamu kenapa ? Ko hari ini keliatan murung gitu sih ?" 

"Ah ga kenapa-napa ko." 

"Hari ini kamu keliatan laen deh ?"

"Laen gimana ?" 

"Kayak gak semangat gitu, kamu lagi ada masalah ? cerita dong ? mungkin aja aku bisa bantu." 

"Sayang, aku gak apa-apa ko bener." Sahut Alisya sembari mengusap pipi kanan-ku lembut. 

"Beneran." 

Alisya mengangguk sambil menorehkan senyum manisnya.

"Ya udah, eh mau makan dimana." 

"Terserah aja deh, tapi aku gak makan ya." 

"Lho kenapa." 

"Masih kenyang." 

"Ih bukannya dari pagi kamu belum makan." 

"Ga ah lagi, gak nafsu makan gini." 

"Masuk angin kali tuh." 

"Maybe!" 

"Setidaknya isi donk, dikit aja." 

"Gak ah." 

"Ya sayang, kita makan di situ aja ya." Ucapku sambil membelokkan Mobil yang aku kemudikan menuju pelataran parkir sebuah restoran jepang. 
Aku mengapitnya untuk berjalan sembari mencari bangku yang strategis di restoran itu. Pelayan restoran ini dengan ramah menyapa sembari menyodorkan menu di hadapan aku dan Alisya. 

"Say, kamu mau makan apa ?" 

"Emh, aku minum aja ya." 

"Sayang, makan donk, dikit aja, ntar kamu sakit lagi." 

"Gak ah, aku lagi gak enak makan ni." 

"Ah kamu, ya udah." 
Aku memesan beberapa makanan, sedangkan Alisya tetap dengan keinginannya hanya memesan segelas softdrink. 

"Bener deh, kayaknya aku liat kamu lagi ada masalah." 

"Ih kamu tuh ya, bener ko, aku gak apa-apa ?" 

"Alisya, aku ni cowok kamu, yang udah kenal kamu sejak 3 tahun lalu, gak biasanya kamu kayak gini. Yang aku liat, kayaknya saat ini lagi ada yang kamu pikirin." 

"Gak tahu ya say. Entah ini pantas, ato enggak aku pikirin." 

"Masalah apa tuh ?" 

"Emh, Say, seandainya, Lusa aku meninggal gimana ?" 

"Dih ngaco... kok ngomongnya gitu sih." 

"Ya udah kalo gak mau bahas." 

"Kenapa sih ko tiba-tiba kamu bicara tentang kematian gitu ?" 

"Emang sih rasa-rasanya gak rasional gitu, tapi tiba-tiba saja aku takut akan hal itu." 

"Masalahnya kenapa, ko bisa-bisanya kamu malah mikirin itu." 

"Tapi kamu jangan ngetawain aku yah." 

"Ealah, masa sih aku mesti ngetawain kamu, kamu suka aneh deh." 

"Kemarin malem aku mimpi kalo selasa lusa, aku bakal meninggal." 

Aku tersenyum geli mendengar ucapannya itu. 

"Tuh kan, katanya gak bakal ketawa." 

"Kamu suka aneh deh, kirain kenapa sampai ngerasa gitu, eh ternyata cuma karena mimpi." 

"Emang awalnya sih biasa aja, tapi ko malah kepikiran gini ya." 

"Sayang, jangan hiperbolis gitu deh, mimpi kan cuma bunga tidur, masa gitu aja jadi pikiran." 

"Aku juga tahu, tapi gimana kalo ini tuh emang pertanda." 

"Iya, tapi mana kita tahu kematian, itu semua rahasia Tuhan. Mungkin aja beberapa jam lagi, aku yang bakal meninggal, mana kita tahu kan." 

"Tapi kalo itu bener gimana ?" 

"Ko kamu segitu seriusnya sih nimpalin mimpi, emang mimpi kamu tu gimana sih." 

"Gak terlalu jelas sih, aku sendiri lupa gimana lengkapnya, tapi aku inget banget ama satu kejadian, kalo aku ketemu ama lelaki, kulitnya hitam legam, pake banyak kalung dari tulang-tulang gitu, pokoknya aneh lah, dia nyapa aku, dan dengan singkat dia bilang hari Selasa ini jam 2 siang aku bakal meninggal." 

"Aneh." 

"Emang aneh banget, makanya ampe sekarang aku terus keingetan ama apa yang dia katain." 

"Udah lah say, bisa aja lagi, itu cuma mimpi biasa, gak usah dipikirin terus gitu ah." 

"Mudah-mudahan sih gitu. Tapi andaikata Tuhan mau ngambil aku secepat ini, aku hanya bisa pasrah saja apapun kehendak-Nya." 

"Udah lah, say. Aku yakin gak bakal ada apa-apa ko, Bener! kamu tenang ya."
* * *
Malam itu aku terbaring di ranjang kamarku, jam digital yang kuletakan di atas Komputer aku menunjukan pukul 21.00.  

Hari yang melelahkan, pikirku. Seharian ini aku harus muter-muter perpustakaan buat nyari bahan skripsi, belum lagi tadi sore aku mesti nganter pulang Alisya, pacarku. 

"Zen... ada telpon dari Alisya." Jerit Kakak perempuanku dari luar kamar. 
Aku segera meraih gagang telp yang berada tak jauh dari tempat aku berbaring, aku sengaja mematikan dering telp yang terpasang pararel dengan telp utama rumah ku ini agar tidak menggangguku. 

"Iya sayang, ada apa ?" 

"Zen, kamu temenin aku donk." 

"Kapan ?" 

"Ya malem ini lah, aku gak bisa tidur, aku takut." 

"Aduh sayang, kamu kenapa sih ?" 

"Kamu kan tahu, bokap dan nyokap aku lagi pergi ke luar kota, di sini cuma ada aku, mBok Jah, ma pak Karman doank." 

"Dih, kamu gak biasanya manja kayak gitu deh." 

"Ayolah sayang, ya please...!" 

"Aduh say gimana ya, besok kan aku mesti bimbingan ma dosen aku." 

"Ya kamu bisa kan berangkat dari rumah aku." 

"Tapi ini kan malem."

“Biarin, pokoknya aku tunggu. Ada yang mesti aku ceritain ma kamu”.

 “Apalagi sih say, bukannya baru tadi sore kita ketemu”.

“Aku gak bisa cerita di telp. Pokoknya aku tunggu kamu sekarang di rumah aku, titik!”

“Iya, aku kesana sekarang.”

Aku meletakan kembali gagang telp itu, segera beranjak dari tempat tidur untuk berganti pakaian, dan segera meraih kunci mobil yang kuletakan di atas meja.

“Mau kemana Zen ?” sapa ibu-ku ketika aku melintas ruang keluarga rumahku.

“Alisya. Jawabku singkat.

“Mau ngapain malem-malem gini”.

“Jagain dia!”

“Lho memang kenapa?”

“Mom, ortunya lagi pada gak ada, kasian donk dia sendirian di rumahnya, takut kenapa-napa”.

“Bukannya malah ada kamu yang jadi kenapa-napa ?”

“Udah deh Mom, percaya ma Zen. Zen gak bakal ngapa-ngapain ko”.

“Ya udah salam ma Alisya ya, jadi kamu nginep disana ?”

“Aku mengangguk, Zen berangkat dulu ya Mom”.

Aku pacu mobil ini menembus kegelapan malam kota ini, Rumah Alisya memang tidak begitu jauh dari rumahku, hanya perlu waktu 30 menit untuk menempuh perjalanan ini. Aku pelankan kecepatan mobil ini ketika aku lalui jalanan komplek perumahan dimana rumah Alisya berada. Jalanan begitu sepi, maklum kini malam sudah larut, wajar saja tak banyak orang yang lalu lalang. Kini mobil aku sudah berada di depan rumah Alisya, namun aku tak bisa langsung memasukan ke halaman rumahnya karena terhalang seseorang yang berdiri di depan gerbang rumah Alisya. Aku menekan klakson mobil ini berharap orang itu mengerti kalau mobil aku terhalang olehnya. Namun itu tak memberikan reaksi apa-apa padanya, setelah beberapa kali aku coba namun tetap saja dia tak beranjak dari tempatnya berdiri, aku segera keluar dari mobil aku ini.

“Mas, maaf ya, bisa tolong minggir sebentar.” Ucapku,

Dia hanya menoleh ke arahku, kulihat dia seorang pria berkulit hitam dengan pakaian yang serba hitam pula, aku perhatikan dia memakai aksesoris seperti gelang dan kalung yang berlebihan di tubuhnya. Tatapannya tajam memandangku.

“Mas, maaf ya, bisa minggir sedikit”.

Tanpa berkata, namun matanya masih lekat memandangku, dia mulai menggerakan tubuhnya, memberiku jalan untuk memasukan mobilku kedalam pelataran rumah Alisya. Tanpa berkata lagi, aku segera masuk kembali ke mobilku dan mengendalikannya masuk ke halaman rumah ini. Rumah dua tingkat dengan gaya Eropa yang kental, dengan ornamen dan pernik yang indah, maklum Ayah Alisya adalah seorang arsitek, sehingga tak aneh jika rumahnya ini terlihat begitu Indah. Aku segera melangkahkan kakiku menuju teras rumah ini, setelah aku parkirkan Mobilku di didepan pintu garasi. Aku menekan bel yang berada di samping pintu rumah ini. tak berapa lama kulihat mBok Jah (pembantu rumah ini) membukakan pintu.

“Eh, Den Zen, itu non Alisya udah nunggu diatas”. Ujarnya ketika melihatku berdiri di teras.

Hanya dengan tersenyum aku membalas sapaannya. Aku masuk ke dalam rumah itu, dan segera menuju kamar Alisya yang berada di lantai atas. Derap langkahku bergema menemaniku menyusuri lorong rumah besar ini, sampai aku berada tepat di depan pintu kamar Alisya. Tanpa kuketuk terlebih dahulu, aku segera meraih gagang pintu dan menekannya untuk membuka pintu itu. Kulihat Alisya, terbaring terkelungkup di atas ranjang tidurnya.

“Sayang”. Ucapku lembut sembari mendekatinya.

Alisya segera menoleh, binar matanya memancarkan kelegaan seperti baru saja bertemu aku setelah lama tak jumpa, dengan sigap dia berdiri dan berlari memelukku.

“Hei, kamu kenapa sayang’

“Aku takut Zen...“. ucapnya masih dalam pelukku.

“Sudahlah, sekarang kan aku ada ma kamu”. Aku segera mengusap punggungnya, berusaha menenangkan.

Perlahan dia melepaskan pelukannya dan segera berjalan menuju ranjang dan duduk di atasnya, aku mengikutinya mengambil posisi duduk bersebelahan dengannya.

“Orang itu Zen”.

”Orang itu siapa ?”

“Orang yang ada dalam mimpiku”.

“Trus kenapa”.

“Tadi dia kesini”
.
“Maksud kamu ?”

“Iya orang yang persis sama seperti yang ada dalam mimpiku, tadi sore datang kesini, dia menemuiku. mBok Jah yang nerima dia duluan, di luar pagar sana”.

“Dia ngomong apa ?”

“Aku gak sempet ngomong apa-apa ma dia, aku keburu lari pas liat wajahnya”.

“Kenapa kamu lari ?”

“Abisnya aku takut Zen.”

“Ya sudah, kamu tenang aja ya”.

“Tapi aku gak tau abisnya setelah itu mBok Jah yang nemuin dia lagi’.

“Kamu dah nanya ma mBok Jah dia bilang apa ?”

 Dia menggeleng

“Kenapa ?”

“Aku takut”.

 Aku segera teringat dengan orang yang berada di luar pagar rumah Alisya tadi. Dari perawakannya aku memang sudah menduga orang itu yang di maksud Alisya. Siapa dia?

“Emh, say, aku keluar dulu ya?”

“Mau kemana?”

“Bentar, mau ke warung dulu.”

“Jangan lama-lama.”

Aku mengangguk. Aku emang tak bermaksud ke warung, namun ingin mencoba mencari orang yang tadi. Mungkin bisa sedikit menanyai apa maksud dia menemui Alisya tadi sore.

Aku berjalan keluar kamar ii  dan menuju teras depan, udara dungin begitu menusuk ketika aku buka pintu depan rumah ini, sambil membenahi jaket yang ku kenakan aku melangkah menuju pagar. Aku membuka pintu pagar, menyembulkan wajah keluar, mencari sosok yang tadi ku temui. Sial, orang itu sudah tidak ada. Aku melangkah menuju jalan, sepi..... tak ada satu orangpun yang aku lihat disekitar sini.

Hah, percuma aku mencari malam-malam seperti ini. Namun kalo tadi Alisya bilang kalau orang itu sempat berbicara dengan mBok Jah, mungkin aku bisa cari tahudari mBok Jah.

Aku mernyusuri ruang belakang rumah ini mencari kamar mBok Jah. Ketika kudapati kamar itu segera kuketuk pintunya. Kulihat mBok Jah membuka pintu itu.

“Ada apa Den?”

“Mmhh... bok, tadi sore mBok ketemu ama laki-laki yang kulitnya hitam dan berpakaian hitam-hitam?”

“Iya, Memangnya kenapa den?”

“Enggak kenapa-napa, emangnya dia ngomong apa mBok?”

“Dia cuma nyari non Alisya, tapi pas non Alisya ketemu ma orang itu, eh dia malah lari.”

“Emang mBok Jah gak nanya keperluan dia apa?”

“Ya nanya Den, katanya sih dia mau jemput non Alisya, tapi ya mBok gak tau mau ngajak kemana.”

 “Terus dia ngomong apa lagi?”

“Ya gitu aja den, tapi katanya dia mau kesini lagi besok siang.”

“Oh gitu, ya udah, makasih ya mBok.”

“Emangnya ada apa toh den?”

“Enggak ada apa-apa ko mBok, ya udah mBok Jah istirahat lagi aja, makasih mBok.”

“Sama-sama den.”

Aku melangkah dari tempat itu, jujur aku makin bingumg dengan semua ini, apa dan siapa sebenarnya orang itu? Apa memang mimpi Alisya kemarin itu bukan hanya bunga tidur? Atau memang semua ini hanya kebetulan saja?

Seakan masih banyak pertanyaan yang menghujm pikiran ini , namun aku tak memperlihatkan wajah penuh pertanyaan di hadapan Alisya, yang penting aku mesti menenangkannya malam ini.

Malam itu Alisya tertidur dalam pelukku, sedari tadi aku membujuknya untuk tidur, namun ia tak mau, ia masih terlampau takut jika mimpinya kembali terulang malam ini. Namun akhirnya ia tertidur juga, mungkin ia tak dapat menahan rasa kantuknya.

Jujur, mau tak mau aku jadi takut jika apa yang Alisya impikan jadi kenyataan. Aku belum saip untuk di tinggalkannya, walaupun ini semua hanya seonggok mimpi namun tetap telah menguras nalar dan logika, karena bagaimana pun terkadang di dunia ini terdapat sesuatu yang tak tersentuh oleh nalar dan akal sehat.

Siang itu aku ter  duduk kaku di halaman teras rumah ini. Di hadapanku Alisya tampak tersenyum, wajahnya jauh lebih cerahdibanding tadi malam.

“Alisya hari ini kamu tampak  cantik.”

“Setidaknya untuk pertemuan terakhir ini aku harus tampil sempurna di hadapnmu.”

“Pertemuan terakhir?”

“Iya pertemuan terakhir, mungkin saat inilah detik terakhir dari kebersamaan kita selama ini.”

“Kamu jangan bicara gitu ah.”

“Setidaknya aku bangga telah bisa menjadi kekasih kamu, kamu adalah lelaki terbaik sepanjang hidupku. Sebenarnya aku masih ingin bersamamu, namun sepertinya waktu sudah tidak lagi memihak kepda kita.”

“Alisya, kamu masih terobsesi dengan mimpi kamu itu ya? Kamu gak bakal meninggal Alisya, percaya itu.”

“Siapa yang bilang mau meninggal , aku Cuma bilang, aku bakal pergi.”

“Kamu mau pergi kemana?”

“Kesebuah tempat. Tempat yang indah dan damai.”

“Omongan kamu mulai nagco deh.”

“Eh sudah jam 2, aku pergi ya sayang. Yang pasti, walaupun aku jauh denagan kamu, aku pasti akan terus menyayangi kamu.”

“Eh sebenarnya kamu mau kemana?”

Alisya tersenyum

“Nanti juga kau tahu. Aku pergi ya sayang.” Dia mengecup pipi kanan ku dan segera pergi.

“Alisya tunggu, kamu....”

“Zen....Zen... bangun udah siang.”

Sayup aku mendengar suara Alisya. Aku membuka mataku. Kulihat Alisya tersenyum kepadaku. Terlihat seperti dia baru saja selesai mandi.

“Udah siang sayang.”
“Kamu....”

“kenapa?”

“ Ah, ga apa-apa. Jam berapa ini?”

“Jam 9 pagi, sana mandi, terus sarapan dibawah.” Ucapnya sambil kembali tersenyum.

Alisya telahmenghilang dibalik pintu  kamar ini, aku termenung dengan mimpiku semalam, jam 2 siang? Kenapa aku bermimpi seperti itu?

Selesai mandi aku segera menuju ruang makan di lantai bawah, disana ku temui Alisya dengan setumpuk roti isi di hadapannya.

“Hai, si cakep sudah mandi. Nih sarapannya udah aku buatin.” Ucap Alisya.

Aku mengambil duduk berhadapan denganny di meja makan itu.

“Pules banget tidurnya semalem?”

“Abisnya aku cape dari siang kegiatan aku padet banget.”

“Duh kacian, tapi sekarang udah ilang donk capeknya.”

“Ya gitu lah..”

“Zen....”

“Apa?”

“Maafkan aku yah.”

“Buat apa?”

“Gak buat apa-apa sih, Cuma kalau memang aku harus pergi siang ini, aku pengen kamu bisa relain aku.”

“Alisya, jangan mulai lagi deh. Kamu belum tentu bakan meninggal hari ini kan?”

“Zen, kamu pernah bilang kalau keatian itu rahasia ilahi, kematian itu bisa datang kapan saja tanpa kita duga, dan kemungkinan aku meninggal siang ini bisa aja kan? Yang pasti kalau aku memang harus pergi, aku pengen kamu relain aku. Aku pengenliat kamu bahagia walau kita udah gak lagi bersama. Aku sayang kamu Zen, namun kini  hanya bisa pasrah terhadap takdir aku yang telah Tuhan gariskan.”

“Alisya, kamu gak seharusnya bicara seperti itu.”

“Tadi aku sudah ngobrol dengan mBok Jahmengenai lelaki yang datag kemarin sore. Katanya, lelaki itu ingin menjemput aku, mungkin saja dia adalah malaikat pencabut nyawaku.”

“Alisya, cukup... aku tak mau terus bicarakan ini, hanya Tuhan yang boleh tau kapan seseorang itu harus meninggal. Kamu jangan terlalu menyangkut pautkan semuanya. Rasia Tuhan tak bisa kita rasakan hanya dengan pikiran dan akal kita semata.”

Alisya tersenyum, jujur, saat ini aku semakin khawatir dengan hal ini. Mulai dari hal-hal yang aku lihat sampai mimpiku semalam yang memang mengarah kepada kematian Alisya, apa ini memang pertanda jika Alisya pergi siang ini?

Jam dinding rumah ini menunjukan pukul 13.30 aku duduk bersebelahan dengan Alisya, mBok Jah dan pak Karman, supir keluarga Alisya sengaja diminta Alisya untuk berkumpul di ruang tengah.

Dengan tegang aku memperhatikan keadaan ini, wajah mBok Jah dan pak Karman juga tak jauh berbeda denganku, namun justru sebaliknya dengan wajah Alisya, ia terlihat tenang, seaka dia begitu pasrah denga apapun yang akan terjadi.

Berkali-kali aku meyakinkan hatiku kalau semua ini hanya sekedar mimpi, dan tak akan terjadi apa-apa dengan Alisya, namun sayang, ketegangan hatiku jauh melebihi keyakinan ku itu.

“Zen sayang.... jika memang aku harus pergi, aku ingin kamu menyimpan cincin yang  aku kenakan ini. mBok Jah, pak Karman, maafin Alisya ya, kalo memang selama ini Alisya punya salah. Tolong kabarin Mamah dan Papah tentang Alisya ini, ucapakan kalau Alisya sayang sama mereka.”

Hanya anggukan yang menimpali perkataan Alisya itu, mungkin semua orang yang ada di situ hanya sibuk denga ketegangannya.

Suasana kembali hening, hanya detak jam yang terus berjalan mengantarkan kita semua menuju pukul 2 siang. Ingin rasanya aku menahan laju jam itu agar tak lagi menunjuk pukul . namun aku tahu itu tak mungkin aku lakukan.

”Sayang....”

Aku menoleh memandang wajah Alisa, yang kini kulihat memucat.

“Mungkin ini saatnya aku pergi..” Kulihat dia memejamkan matanya, “Aku sayang kamu.”

Denagn seketika tubuh Alisya melemah, dan dia jatuh tak sadarkan diri.

“Alisyaaa...” jeritku sambil menangkap badan Alisya.

“Non Alisyaa...” Kudengar mBok Jah menjerit lirih tertahan diikuti dengan isak tangis.

“Pak , siapkan mobil, kita bawa Alisya ke rumah sakit.” Ucapku kepda pak Karman.

Denngan sigap dia keluar dan mengambil mobil.

“mbok Jah tunggu rumah, dan tolong hubungi bapak dan ibu Alisya.”

Aku segera mengangkat tubuh Alisya yang terkulai lemah keluar ruangan dan segera memasukannya kedalam mobil yang pak Karman keluarkan dari bagasi.

Mobil ini segera melaju meninggalkan pelataran rumah Alisya. Di luar pagar sekilas aku meliahat orang yang tadi malam itu melihat ke arah aku, namun kini dia memberiku sedikit senyuman. Siapa dia? Namauntak kuhiraukan lagi, yang utama, aku ingin lekas membawa Alisya menuju ke rumah sakit.

Di ruang gawat darurat rumah sakit ini aku menunggu tegang, para tim medis mengusahakan menyelamatka nyawa Alisya.

Setelah sekian lama aku menunggu, salah satu Dokter keluar dari ruangan.

“Mana keluarga nona Alisya.” Ucapnya.

“Iya saya, bagaimana Dok?”

“Maaf, kami sudah berusaha, namun nyawa nona Alisya memang sudah tidak dapat kami tolong lagi. Kami turut berduka.”

Aku tertunduk lemas.

“Sabar ya Dik.” Ucap pak Karman.

Aku masuk menuju ruang diman jasad Alisya terbujur kaku, di temani pak Karman aku melangkah lemah mendekati jasad yang tertutup kain putih itu.

Dengan perlahan aku menyingkap kain penutupnya. Kudapati wajah Alisya, yang tadi pagi masih ceria, kini 
telah memucat. Aku tak dapat lagi menahan isak tangis yang ku tahan sedari tadi.

“Dik, ini cincin yang non Alisya pengen agar Dik Zen menyimpannya.” 
Cincin platinum berhias ukiran huruf membentuk tulisan Alisya itu aku ambil dari tangan pak Karman. Aku 
kembali memandang wajah Alisya, dia masih tampak cantik. Dengan lembut ku usap pipi gadis itu. 
Dan segera ku kecup keningnya. Aku juga sayang kamu Alisya. Bisikku lembut. Segera kututup kembali
wajahnya dengan kain itu. Dengan hati yang masih teramat perih aku melangkah kembali keluar. Di sudut
koridor Ruang UGD ini kulihat orang misterius itu, dengan pakaian hitam dan aksesorisnya yang aneh
memandangku, namun sekejap itu dia mulai melangkah menjauh.

“Woi tunggu.” Ucapku sembari mengejar dan mendekati orang itu.

Orang itu terdiam dengan posisi membelakangiku.

“Sebenarnya kamu siapa ?” Dia tak menjawab Kulihat dia mulai membalikan tubuhnya, dengan wajahnya
 yang hitam legam dia memandangku. 

“Kamu, jam 2, enam puluh tujuh tahun yang akan datang. Ucapnya dengan suara berat seakan tertahan. 

“Maksud kamu ?”

Dia tak menjawab, dia malah kembali membalikan badan dan melangkah menjauhi aku. Aku hanya dapat
termenung menatap wujudnya sampai akhirnya tak terlihat terhalang tembok koridor Rumah Sakit ini. 
 
Sukabumi, 14 Juni 2006       
 
               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik adalah pengunjung yang bersedia memberi komentar pada setiap artikel yang di bacanya. silahkan beri komentar atau masukan-masukan yang bermanfaat. Tapi Jangan Spam dan jangan lupa share ke teman-teman anda!